Titik Nol Kilometer Yogyakarta

“Renjani, kata dokterku, akan ada masanya orang-orang datang, lalu pergi. Ini hanya tentang bagaimana cara mereka berpamitan. Enggak semua perpisahan itu dapat diterima. Namun, apa yang sudah lewat biarlah berlalu. Perihal itu, maaf sebab pemuda ini hanya bisa memberikan bahunya untuk sementara bersandar. Juga maaf karena pada akhirnya perpisahan enggak bisa terelakkan.“

 

“Semenjak kamu pergi, definisi rumah yang hangat juga ikut menghilang, Maheesa. Enggak ada lagi yang memberi tempat berteduh kala hujan Desember datang. Enggak ada lagi yang mengobati goresan lukaku dengan plester cokelat muda yang selalu kamu bawa. Enggak ada lagi bahu yang nyaman untuk bersandar. Sampai kapan akhirnya aku bisa mengikhlaskan kamu untuk pergi?”

 

Yogyakarta seakan ikut bercerita mengenai takdir Maheesa Partha Omkara. Barangkali, rangkaian memori masa lalu akan terus memaksa Maheesa kembali tenggelam dalam trauma yang kelam. Raganya dibanting, hatinya pun ditikam. Apakah pemuda tersebut mampu bertahan di tengah kehidupannya yang suram?